Tidak ada kata terlambat untuk memulai.
Seringkali kita menunda--bahkan membatalkan--untuk
membantu beban bumi dengan dalih “ah, percuma juga saya melakukannya kalau
semua orang masih melakukannya”, “ya udah sih, masih ngaruh kah kalo aku
melakukan ini sekarang?”, dan sebagainya. Perasaan bahwa sampah di bumi sudah
terlanjur banyak dan kita tidak akan mampu memberi kontribusi berarti yang
dapat menolong kondisi planet ini memang sulit dielakkan, apalagi di era di
mana siapapun dimanapun yang memiliki koneksi internet (dan dana yang cukup)
bisa membeli apapun yang mereka mau. Tapi, apa benar sudah terlambat bagi kita
untuk melakukan sesuatu demi kelangsungan hidup planet tempat tinggal kita?
Fashion Educationist Aryani
Widagdo jelas tidak setuju dengan sudut pandang pesimis tersebut. Baginya,tidak
ada kata terlambat untuk memulai, dan tidak ada kata pensiun untuk peduli.
Selepas purna tugas dari Arva School of Fashion yang beliau dirikan dan asuh
sejak 1989 silam, Aryani mengalihkan energinya (yang nampaknya tidak ada
habisnya!) ke Aryani Widagdo Creativity Nest. Lembaga tersebut bergerak di
bidang riset, pendidikan fesyen, serta keterampilan jahit-menjahit. Berdiri
sejak tahun 2015, keberadaan lembaga ini menjadi angin segar bagi dunia fesyen
khususnya di Surabaya, mengingat lembaga riset di bidang fesyen bisa dibilang
masih sangat sedikit jumlahnya. Khususnya lembaga riset yang memiliki fokus
utama di bidang zero waste fashion (fesyen nol limbah) seperti ini.
Fesyen yang Berkelanjutan, Kesadaran yang Berkelanjutan
Ketertarikannya pada pola-pola zero waste fashion
menuntun Aryani untuk semakin menekuni dan mengembangkan metode ini. Zero
waste fashion sendiri adalah metode pembuatan pakaian tanpa menyisakan
perca sedikit pun. Hal ini ditempuh dengan cara membuat pola yang sedemikian
rupa di atas sebidang kain hingga menjadi pakaian utuh. Tidak ada white
space; setiap kain yang digunting akan menjadi bagian dari pakaian jadinya.
Produk-produk dengan zero waste pattern making & cutting
“Menurut saya ini saat yang tepat, di mana di seluruh
dunia muncul kesadaran untuk bagaimana mengurangi beban dari bumi kita ini,”
tambah Aryani, saat ditanya mengenai awal mula dirinya mendedikasikan waktunya
untuk mengembangkan zero waste fashion. “Sekarang perusahaan garmen terkenal
seperti Zara memiliki target untuk mulai menggunakan sustainable fabric
secara keseluruhan pada 2025. Artinya begini : dari pihak konsumen sendiri
sudah mulai muncul kesadaran pentingnya tidak membebani bumi; nah sekarang kita
yang bergerak di dunia fesyen harus bergerak lebih dulu karena kita yang
memproduksi,” lanjutnya.
Aryani sadar mengedukasi masyarakat akan selalu menjadi
tantangan tersendiri, namun hal itu bukan berarti tidak mungkin. Di Indonesia
sebenarnya sudah cukup banyak desainer yang menerapkan konsep zero waste
fashion dalam karyanya, tapi penerapannya di lapangan belum terlalu
efektif karena setiap pola ada kekurangan & kelebihannya. Misalnya, busana zero
waste fashion itu biasanya one size fits all, dan tidak mengikuti
lekuk tubuh. Pola berbentuk lengkungan--misalnya, pola lengan--menyebabkan
terciptanya banyak white space, yang berarti banyak perca yang
dihasilkan. Di sinilah produsen dan pendidik mengedukasi masyarakat bahwa
dengan menerapkan metode zero waste fashion, perca yang ada berbentuk
lurus, jadi bisa digunakan untuk ornamen/aksen bajunya. Perca lurus tersebut
juga bisa disambung-sambung hingga menjadi baju lagi, atau bisa juga dijadikan
aksesoris macam tas, bando, dan lain sebagainya.
Karena perlu kita ingat bahwa perca kain ini meskipun
masih bisa dimanfaatkan kembali tapi bukan berarti semuanya bisa berguna di
kemudian hari. Aryani mengatakan bahwa kira-kira hanya 10% dari perca yang ada
yang bisa diserap oleh industri fesyen maupun handicraft. Hal ini
dikarenakan kebanyakan perca ukurannya terlalu kecil, serta warna dan
teksturnya tidak cocok. Jadi jika memang ingin mengurangi beban bumi dari jalur
fesyen, lebih baik dicari bagaimana caranya menghasilkan sesedikit mungkin
limbah tekstil.
Mungkin perca terlihat seperti ‘cuma’ sampah kecil,
apalagi jika dibandingkan dengan limbah fesyen skala industri besar yang
efeknya bisa kita googling sendiri dengan mudah, tapi kalau sudah
terkumpul tentu saja jadinya jauh dari kata sedikit. Aryani mencontohkan,
sampah perca yang dihasilkan penjahit rumahan saja bisa jadi berkarung-karung
tiap bulannya. Jika 1 penjahit menghasilkan 1 karung sampah perca dalam
sebulan... ”Lalu sekarang ada berapa jumlah penjahit di Indonesia, berapa
ribu?” tandas Aryani.
Aryani juga menambahkan bahwa khususnya yang perlu
diperhatikan adalah limbah polyester. Jenis kain ini membutuhkan ratusan tahun
untuk terurai sempurna, karena berbahan dasar plastik. Jika dibakar pun akan
meninggalkan jejak karbon. Di luar Indonesia, sudah ada yang mengembangkan
polyester ramah lingkungan, tapi di Indonesia sendiri pilihan untuk kain dengan
karakter seperti polyester atau spandex (misalnya untuk olahraga atau baju
renang) pilihannya masih sangat terbatas. Di sinilah salah satu letak pentingnya
lembaga riset fesyen, khususnya yang berfokus pada pengembangan material baru
yang ramah lingkungan.
Dalam setiap kesempatannya mengadakan workshop,
Aryani selalu mengusahakan untuk menyediakan kain yang berasal dari serat alam
dalam workshop kit-nya. Dari situ Aryani ingin menekankan bahwa
pemilihan material kain yang dilakukan oleh produsen sangat berpengaruh pada
kesadaran konsumen akan fesyen yang berkelanjutan. Kesadaran konsumen ini tidak
bisa dibangun dalam jangka waktu singkat, maka dari itu pergerakannya harus
dimulai sedini mungkin, dari hal yang kecil dulu. Misalnya, dalam setiap
pakaian yang sempat diproduksi oleh Aryani Widagdo Creativity Nest terdapat
tulisan pendamping yang berisi ucapan terima kasih karena sudah membeli produk
yang merupakan zero waste fashion item, yang mana itu berarti konsumen
telah turut andil dalam mengurangi beban bumi.
Kembali ke Rumah
Aryani memiliki satu mimpi besar yang walau penerapannya
tidak harus zero waste tapi bisa menjadi solusi dari kesadaran berpakaian
yang less waste : beliau ingin menghidupkan kembali home sewing,
alias menjahit sendiri di rumah. “Kepinginnya itu orang-orang kembali hobi
menjahit, meskipun tidak semua baju membuat sendiri. Kalo kita membuat sendiri,
pasti mau dibuang itu sayang,” ujarnya. Beliau menambahkan, jika orang-orang
membuat sendiri bajunya, bisa dibilang dengan usaha yang sedikit ngoyo (karena
bisa sampai berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan), orang akan lebih ngeman (sayang, red) baju tersebut. Orang akan cenderung tidak mudah membuangnya, mengingat usaha
yang telah ditempuh. Bandingkan jika baju tersebut didapatkan dengan murah,
orang akan cenderung berpikir “Ya sudahlah buang aja, murah ini.”
Sementara jika ditanya mengenai hal apa yang Aryani
harapkan bisa ditemukan di industri fesyen Indonesia di masa yang akan datang,
beliau mantap menjawab bahwa yang diharapkannya adalah suatu keadaan dimana
para penggiatnya dapat memakai material yang terbuat dari sustainable fiber.
Sekarang ini yang menjadi masalah adalah harga material dari serat alam
lebih mahal dari polyester, sementara industri pasti mempertimbangkan harga.
Aryani menginginkan kedepannya bisa tercipta suatu keadaan dimana penggiat
dapat menerapkan konsep fesyen yang berkelanjutan, dari bahan yang ramah
lingkungan pula, serta adanya apresiasi yang pantas pada para buruh yang
membuat produk fesyennya, sehingga mereka dapat hidup dan mengerjakan
pekerjaannya dengan penuh martabat. Dan hal ini tergantung pada banyak hal :
pemerintah, stakeholders, produsen, pendidik, desainer, konsumen,
semuanya yang terlibat. Karena fashion sustainability bukan hanya
tanggungjawab pecinta fesyen, tapi PR bersama bagi siapapun yang hidup
berpakaian. (/nma)
0 Komentar